Istilah
‘fotografi’ berasal dari dua kata “foto” dan “grafi” yang dalam bahasa
Yunani, foto berarti cahaya dan grafi berarti menulis atau melukis,
sehingga “fotografi” dapat diartikan sebagai “melukis dengan cahaya”.
Dalam fotografi, kehadiran cahaya adalah mutlak perlu, karena mulai dari
pemotretan hingga pencetakan film menjadi foto, kedua-duanya
membutuhkan cahaya. Menurut catatan sejarah, asal muasal fotografi
“ditemukan” secara kebetulan oleh Ibn Al Haitam pada abad ke-10, bahwa
pada salah satu dinding tendanya terlihat suatu gambar, yang setelah
diselidiki ternyata berasal dari sebuah lubang kecil pada dinding tenda
yang berhadapan di dalam tendanya itu. Ternyata pula bahwa gambar
tersebut sama dengan pemandangan yang berada di luar tenda, hanya
posisinya terjungkir balik, pohon-pohon kurma dengan daun-daunnya berada
di bawah, sedangkan badan/batang dan tanah berada di atas (hal ini
kemudian diketahui berdasarkan cahaya selalu melintas lurus, sesuai ilmu
alam).
Pada abad ke-13, Roger Bacon juga ‘memergoki’ hal serupa di ruang
kerjanya; namun baru pada abd ke-15, Leonardo da Vinci memanfaatkan
fenomena alam tersebut untuk tujuan-tujuan yang bermanfaat. Ciptaannya
yang terkenal adalah CAMERA OBSCURA (camera=kamar ; obscura=gelap),
merupakan cikla bakal kamera yang kita kenal sekarang (penyebutan
‘kamera’ berarti kamera-foto, kamera untuk membuat foto/memotret),
tetapi di saat itu, camera obscura betul-betul berupa sebuah kamar gelap
dengan salah satu dindingnya dibuatkan sebuah lubang kecil, kemudian di
tengah ruang didirikan “dinding” lain dari kertas setengah tembus
cahaya untuk menampung gambaran yang tercipta dan berasal dari lubang
kecil tersebut, untuk kemudian dijiplak dengan menggunakan alat tulis.
Dari kamar gelap tersebut, kemudian diciptakan “kamar gelap” miniatur
yang lebih praktis. Pada bagian yang berlubang ditambahkan sebuah lensa,
di bagian dalam dipasangkan selembar cermin dengan posisi 45 derajat
untuk memantulkan gambaran yang tercipta oleh lensa ke arah atas yang
ditutupi selembar kaca bening. Penjiplakan gambar menjadi lebih praktis,
juga berkat dipergunakannya sebuah lensa, gambar yang terbentuk menjadi
lebih kecil dari wujud aslinya, malah dengan memaju-mundurkan posisi
lensa, ketajaman gambar dapat diatur sesuai jarak sasaran terhadap
“kamar gelap” tersebut.
Kamera lubang jarum dan daguerrotype Perkembangan lain dari camera obscura yang diminiaturkan adalah kamera lubang jarum (pinhole camera). Kamera ini berupa sebuah kotak dengan salah satu dindingnya dilubangi, dan pada dinding seberangnya dipasangkan kaca buram untuk melihat gambar yang terbentu. Kemudian lubang tersebut dipasangkan sebuah lensa untuk meningkatkan mutu gambar. Dengan hanya berpegang pada fenomena alam, fotografi takkan mencapai tujuan.
Kamera lubang jarum dan daguerrotype Perkembangan lain dari camera obscura yang diminiaturkan adalah kamera lubang jarum (pinhole camera). Kamera ini berupa sebuah kotak dengan salah satu dindingnya dilubangi, dan pada dinding seberangnya dipasangkan kaca buram untuk melihat gambar yang terbentu. Kemudian lubang tersebut dipasangkan sebuah lensa untuk meningkatkan mutu gambar. Dengan hanya berpegang pada fenomena alam, fotografi takkan mencapai tujuan.
Berkat penemuan Heinrich Schulze (1727) mengenai bahan-bahan tertentu,
misalnya garam perak yang peka terhadap cahaya, dan warnanya yang semula
putih dapat berubah menjadi hitam bila terkena cahaya, fotografi mulai
menapak ke arah yang dituju. Thomas Wedgwood (1802) menemukan juga hal
serupa, namun kedua-duanya tidak berhasil menjadikan perubahan warna
tersebut permanen. Baru pada tahun 1826, Joseph Nicephore Niepce
berhasil menjadikan warna hitam itu permanen, ia berhasil membuat
semacam klise di atas lembaran timah dengan cara mencelupkan lembaran
timah tersebut, yang sebelumnya telah dilaburi bahan peka cahaya dan
telah dicahayai, ke dalam larutan asam; namun ia tak sempat melakukan
percobaan lebih lanjut karena sakit dan kekurangan biaya. Berkat
persahabatannya dengan Louis Daguerre, seorang pelukis yang kaya raya,
beberapa percobaannya kemudian dilanjutkan, malah akhirnya diteruskan
oleh Daguerre sendiri setelah Niepce meninggal dunia. Selama 11 tahun
Louis Daguerre melakukan percobaan-percobaan lanjutan, akhirnya pada
tahun 1839, dengan mempergunakan bahan-bahan kimia yang tidak pernah
dicoba oleh Niepce,
Daguerre berhasil membuat bahan peka cahaya yang lebih praktis dan
dikenal sebagai Daguerrotype, suatu pelat tembaga yang pada satu
permukaannya dilaburi bahan peka cahaya. Daguerrotype ini berfungsi
sebagai filem dan sekaligus menjadi foto-jadi. Pembuatan daguerrotype
ini cukup rumit. Mula-mula pelat tembaga dilapisi perak pada salah satu
sisinya, kemudian digosok sedemikian rupa, sehingga terlihat seperti
cermin, baru setelah itu permukaannya dilaburi bahan kimia peka cahaya.
Bahan kimia tersebut tidak eprnah kering benar, dan dalam pemakaian, ia
langsung dipasangkan pada kamera dikamar gelap. Setelah pelat
tercahayai, lalu dikembangkan dengan cara diberi uap merkuri yang sedang
mendidih, sampai gambarnya timbul. Untuk menjadikan gambarnya permanen,
pelat tersebut dicelupkan ke dalam larutan hipo, lalu dicuci dengan
air. Karena permukaannya yang menyerupai cermin, daguerrotype ini sulit
untuk dipandang dari depan. Kemengkilapannya menyebabkan setiap orang
yang memandanginya akan terlihat dirinya pula, ‘berimpitan’ dengan
gambar/foto yang dilihatnya. Maka untuk dapat melihatnya dengan baik,
harus dari arah agak pinggir, misalnya dari sudut 60-70 derajat. Ada
kalanya yang terlihat berupa gambaran negatif, karena pengaruh semacam
polarisasi. Permukaan ‘foto’ senantiasa agak lembab, maka foto-foto
daguerrotype
harus dilindungi dengan bingkai kaca. Kendala lain adalah kepekaannya amat rendah, sehingga dibutuhkan pencahayaan maha panjang antara 20-40 detik, di kala cuaca amat cerah. Popularitas film daguerrotype ini berlangsung sekitar 15 tahun (1839-1854).
harus dilindungi dengan bingkai kaca. Kendala lain adalah kepekaannya amat rendah, sehingga dibutuhkan pencahayaan maha panjang antara 20-40 detik, di kala cuaca amat cerah. Popularitas film daguerrotype ini berlangsung sekitar 15 tahun (1839-1854).
Di saat Joseph Nicephore Niepce dan Louis Jacques Mande Daguerre
melakukan experimen, Fox Talbot dengan pikirannya yang lebih maju sudah
mengetahui hubungan negatif-positif. Ia menggunakan bahan kertas untuk
dijadikan media peka cahaya yang kemudian menghasilkan gambaran negatif,
diberi nama Talbotype (1835). Dari negatif tersebut kemudian dilakukan
pencetakan ke atas kertas peka cahaya juga. Namun upaya Talbot tertumbuk
pada kenyataan, hasil cetakannya itu tak bisa tajam, malah gambarnya
menjadi kabur. Beberapa ahli mengetahui, bahwa seharusnya negatif hasil
pemotretan terbuat daripada kaca yang bening, sehingga cetakan foto yang
tajam dapat terwujud.
Namun belum ditemukan bahan yang dapat menempelkan bahan-bahan kimia
peka cahaya ke atas permukaan kaca. Pernah diciptakan lem dari kuku,
juga diketahui bahwa putih telur dapat berfungsi sebagai lem terhadap
kaca, namun kedua-duanya tidak dapat dipergunakan. Pada tahun 1850,
Scott Archer, seorang pemahat, menciptakan metode yang diberi nama
‘collodian’, disebut juga sebagai ‘proses pelat basah’. Ia menerapkan
suatu cara dengan melaburi kaca dengan suatu campuran kimia, yang
setelah mengering membentuk lapisan film, menyerupai kulit. Film
collodian ini diberi emulsi dengan cara dicelupkan ke dalam larutan
kimia peka cahaya. Hal yang merepotkan, bahwa film ini harus dipakai
untuk memotret dalam keadaan basah, langsung dimasukkan ke dalam kamera.
Lalu setelah tercahayai, segera harus dikembangkan, karena bila
bahan-bahan kimianya sudah mengering, ia akan kehilangan kepekaan
terhadap cahaya. Pada saat yang hampir
Dalam pencahayaan sengaja dibuat tercahayai kurang, agar gambaran yang
terbentuk akan amat pucat. Gambaran ini bila dilihat di atas permukaan
yang putih akan tampil sebagai negatif yang tercahayai kurang, sedangkan
bila dilihat dengan latar belakang yang hitam, gambarannya akan tampil
menjadi gambar positif yang memadai. Karena pengerjaannya lebih mudah
dan harganya lebih murah, ambrotype secara berangsur-angsur menggantikan
daguerrotype. Pada tahun 1870-an lahir tintype, suatu variasi lain dari
ambrotype. Perbedaannya adalah tintype terbuat dari timah, bukan kaca.
Karena dasarnya timah, maka bagian yang seharusnya putih berubah menjadi
keabu-abuan dan kecemerlangannya hilang, baik dibandingkan dengan
daguerrotype maupun ambrotype. Harga tintype lebih murah daripada
ambrotype, merupakan konsumsi masyarakat kebanyakan. Masih berdasar pada
proses collodian, terdapat jugavariasi lain, ialah carte-de-visite,
jenis ini menggunakan negatif kaca. Film ini lebih cocok dipakai pada
kamera berlensa banyak, misalnya enam atau delapan buah, sehingga sekali
potret akan diperoleh banyak foto. Maka dari itu variasi ini disebut
“carte-de-visite” yang artinya kira-kira “kartu perkenalan”. Negatif
kaca tersebut dapat dicetak berulang-ulang.
Sejak daguerrotype hingga carte-de-visite, semuanya mengharuskan
pemotretnya atau pemotretan berdekatan dengan kamar gelap, sebag
pelat-pelat peka cahaya tersebut harus dilaburi emulsi dan diproses pada
lokasi sekitar atau berdekatan dengan lokasi pemotretan. Baru kemudian
setelah ditemukan sistem pembuatan pelat kering oleh George Eastman pada
tahun 1880, fotografi memasuki era baru. Dasar pertama untuk menjadikan
kering pelat basah adalah dengan menyelaputi permukaan kaca dengan
gelatin yang mengandung emulsi foto (bahan peka cahaya). Dengan
demikian, kemudian pelat-pelat kaca beremulsi dapat dijual kepada
konsumen foto. Pemrosesan pelat yang telah tercahayai tidak harus segera
pula, melainkan boleh dilakukan kapan saja.
Era Baru Fotografi George Eastman, pendiri perusahaan Kodak Eastman
Company, semula adalah karyawan bank. Berkat temuannya berupa pelat
kering pada tahun 1880, fotografi menjadi lebih praktis, dan
perkembangan fotografi beralih dari daratan Eropa ke Amerika. Pelat
kering yang terbuat dari kaca, akhirnya disadari kurang praktis juga,
karena dalam perjalanan bisa pecah, juga dalam jumlah banyak meurpakan
beban, di samping makan tempat juga cukup berat. Maka pada tahun 1885
lahir film rol pertama, dan sejak saat itu nama “Kodak” mulai
diperkenalkan. Film rol pertama itu tidak sama dengan film rol yang kita
kenal sekarang. Film tersebut terdiri dari dua lapis : gelatin
beremulsi dan bahan dasar kertas. Selain itu film setelah tercahayai,
harus dikirim ke lab Kodak untuk diproses.
Dalam pengembangannya berlangsung seperti biasa, hanya setelah selesai,
lapisan gelatin bermulsi yang telah mengandung gambar harus dilepas,
dipisahkan dari kertas, negatifnya masih tetap berupa negatif kaca juga.
Namun dengan film rol yang dinamakan ‘paper film’ itu, para pemotret
tidak dibebani seperti pada zaman pelat basah. Kamera modern pertama di
dunia, Kodak No.1, lahir pada tahun 1888. kamera ini dapat diisi dengan
film rol untuk 100 bidikan. Dalam praktek terdapat suatu kendala, karena
film harus diisi dan dikeluarkan di lab Kodak, yang berarti kamera
pemakai harus berulang kali masuk keluar lab Kodak bila hendak dipakai
memotret. Kamera Kodak No.1 itu walaupun masih besar bila dibandingkan dengan kamera-kamera yang lahir kemudian, tetapi di saat itu sudah terbilang ringkas dan bisa bebas dari keharusan menggunakan kakitiga, yang merupakan pelengkap bawaan dan harus senantiasa menempel pada kamera.
memotret. Kamera Kodak No.1 itu walaupun masih besar bila dibandingkan dengan kamera-kamera yang lahir kemudian, tetapi di saat itu sudah terbilang ringkas dan bisa bebas dari keharusan menggunakan kakitiga, yang merupakan pelengkap bawaan dan harus senantiasa menempel pada kamera.
Pada tahun 1889, Kodak memperkenalkan film rol baru yang lebih lentur,
dan sudah seperti film yang kita kenal sekarang. Maka sejak saat itu
mulai diproduksi film-film rl panjang untuk kebutuhan sinematografi.
Kelemahan pada film Kodak waktu itu adalah sukarnya dipeorleh permukaan
yang rata, terutama pada lembaran-lembaran yang agak besar. Baru
kemudian, pada tahun 1913 film lembaran (sheet film) dengan mutu yang
lebih sempurna berhasil dibuat. Maka sejak saat itu, pelat-pelat kaca
dan film-film berstruktur primitif secara berangsur-angsur digantikan
dengan produk penemuan-penemuan baru dengan struktur lebih sempurna.
Dari kesanggupan manusia membuat film rol yang panjang, dan kemudian
ditemukan bahan pembuat film aman (safety film) yang terbuat dari
selulosa-asetat yang rambat-nyalanya lambat, mulailah dari fotografi
manusia menjajaki sinematografi. Lalu film-film panjang mulai dibuat
dalam format 35mm. Dengan pengalihan produksi kamera yang mulai mencari
sasaran publik awam, disamping fotografi, juga sinematografi mulai
mencari penggemar amatir. Tahun 1923, Eastman Kodak Company
memperkenalkan kamera bioskop (movie camera) 16mm, dan pada tahun 1923
lahir pula Cine-Kodak Eight, kamera-sine 8mm yang menggunakan film
format 16mm. dalam pemakaian, film terbagi menjadi dua jalur, mula-mula
dicahayai separuh, salah satu sisinya, setelah habis lalu kumparan-isi
harus bertukar tempat dengan kumparan kosong, dan film dicahayai lagi
pada sisi yang belum tercahayai. Film setelah diproses lalu dibelah dua,
kemudian disambungkan dan digulung ke kumparan untuk diprojeksikan.
Berkat George Eastman, dunia fotografi menjadi ‘mainan’ populer seperti
sekarang ini. Maka guna mengenang jasa-jasanya, pada tahun 1947 di
Rochester, New York, kotanya perusahaan Eastman Kodak, telah didirikan
sebuah museum fotografi yang diberi nama “The George Eastman House”. Di
museum ini dipamerkan secara permanen “The Art of Photography”, suatu
perjalanan fotografi mulai daguerrotype hingga kini, dan banyak
benda-bendar bersejarah mengenai fotografi lainnya. Singkatnya, semua
hal yang berhubungan dengan penemuan fotografi terdapat di dalam museum
tersebut.
Oskar Barnack dan Leica Keinginan untuk menciptakan kepraktisan dan
keringkasan pada benda-benda yang dipakai manusia, bukan baru terjadi
pada zaman sekarang, seperti era peringkasan yang gencar dengan istilah
‘compact’ bagi produk kamera-kamera 35mm. di zaman pra fotografi 35mm
pun, hal serupa sudah terpikirkan, kendati belum terbumbui dengan
hal-hal yang bersifat ergonomik dan komfort. Oskar Barnack, seorang
karyawan pabrik kamera dan optik Leitz, ahli dalam bidang mekaini dan
kepala bagian produksi, juga seorang penggemar foto yang antusia, yang
merasakan betapa besar beban yang harus ditanggung oleh seorang
penggemar foto, setiap kali ia hendak melakukan perjalanan pemotretan,
karena yang namanya kamera waktu itu bukan hanya tak dapat digenggam
oleh kedua belah tangan atau digantungkan di pundak, melainkan untuk di
bawa seorang diri pun sudah sulit, karena kamera dan kakitiga menyatu,
sehingga harus dipanggul sedikitnya oleh dua orang, bila hendak
berpindah tempat. Karena alasan tersebut, timbullah suatu gagasan di
benak Oskar muda pada tahun 1912 : “Negatif kecil-foto besar”. Maka
kemudian ia mematangkan gagasannya dan sekaligus menyiapkan untuk
membuat suatu kamera yang ringan, kecil, mudah dibawa,bebas dari
kakitiga dan beban-beban lainnya. Sebenarnya Oskar Barnack selain
menjadi penggemar foto, juga adalah seorang pembuat film cerita. Dalam
bekerja, untuk mendapatkan pencahayaan yang baik dan tepat, biasanya ia
menjalankan kamera terisi film, dan menghabiskan bermeter-meter film
dengan bukaan diafragma beragam, lalu cepat-cepat film diproses, sekedar
untuk mengetahui bukaan diafragma berapa yang paling tepat. Sebagai
seorang pendesain, ia lalu berpikir, alangkah baiknya bila ia dapat
membuat sebuah kamera kecil yang dapat diisi film yang sama seperti
dipergunakan dalam kamera-cine besar. Maksudnya semula, kamera kecil itu
hanya akan dipergunakan dalam kamera-cine besar. Maksudnya semula,
kamera kecil itu hanya akan dipergunakan sebagai alat “pengukur cahaya”,
sebagai alat yang efektif juga ekonomis.
Akhirnya dengan persetujuan penuh majikannya, Dr. Ernst Leitz, ia boleh
mencurahkan segenap keahliannya untuk menciptakan kamera angan-angannya
itu. Menjelang akhir tahun 1913, terciptalah kamera tersebut tanpa nama.
Baru di awal tahun 1914, sebuah nama diberikan : Leca. Nama yang
diambil dari Leitz Camera. Film yang dipergunakan adalah format 35mm,
sama dengan yang dipakai pada kamera-cine. Walaupun semula kamera
tersebut diciptakan sebagai alat pengukur cahaya, tetapi setelah rampung
ia menrupakan suatu kamera yang cukup lengkap fasilitasnya. Kebiasaan
film berputar secara vertikal pada kamera-sine, pada Leca yang kemudian
dikukuhkan menjadi Leica diubah lintas geraknya menjadi horisontal. Lalu
format bingkai yang pada kamera-sine adalah 18x24mm, pada Leica
diperbesar dua kali lipat menjadi 36×24.
Pada prototipe Leica ini terdapat pelengkap-pelengkap serba baru, ialah
pemutar film yang sekaligus berfungsi sebagai pengokang rana, rana celah
yang dapat membuka dalam berbagai ukuran dan kaset sebagai pelindung,
dan wadah film yang dapat dikeluar-masukkan di tempat terang.
Ternyata kemudian, bahwa kepercayaan yang diberikan Ernst Leitz kepada Oskar Barnack merupakan awal dari perkembangan fotografi modern, dan gagasan ke perkembangan kamera yang lebih ringkas. Pada pemunculannya yang pertama di Leipzig Fair, Leica model A buatan tahun 1925 walaupun banyak menarik perhatian, namun tidak seorang pun menduga bahwa kelak akan meraih sukses begitu besar, dan memacu perkembangan fotografi 35mm dengan agresif sekali, dan meninggalkan rival-rival yang berformat besar jauh di belakangnya.
Ternyata kemudian, bahwa kepercayaan yang diberikan Ernst Leitz kepada Oskar Barnack merupakan awal dari perkembangan fotografi modern, dan gagasan ke perkembangan kamera yang lebih ringkas. Pada pemunculannya yang pertama di Leipzig Fair, Leica model A buatan tahun 1925 walaupun banyak menarik perhatian, namun tidak seorang pun menduga bahwa kelak akan meraih sukses begitu besar, dan memacu perkembangan fotografi 35mm dengan agresif sekali, dan meninggalkan rival-rival yang berformat besar jauh di belakangnya.
Foto langsung jadi/ Polaroid Pada tahun 1947, Edwin H. Land
memperkenalkan sistem fotografi baru yang disebut “instant photography”,
foto langsung jadi, diberi nama Polaroid. Kelahiran Polaroid ini amat
menggembirakan kalangan jurnalistik, terutama jurnalistik-foto, karena
suatu peristiwa yang baru saja terjadi, dapat segera dikirimkan ke surat
kabar, tanpa harus terlebih dahulu masuk ke kamar gelap. Maka
aktualitas foto berita menjadi sebanding dengan berita. Pada sistem
Polaroid, pada setiap lembar film dilengkapi juga dengan tabung berisi
bahan-bahan pengembangan. Film setelah tercahayai harus ditarik keluar
dari kamera, dan bersamaan dengan itu, tabung berisi pengembang pecah,
larutan pengembangnya menyebar ke permukaan film secara merata karena
harus lewat melalui rol-rol penekan. Selang 60 detik kemudian, di luar
kamera film selesai terproses dan sekaligus terfiksir, juga telah
tercetak ke atas kertasfoto yang sebelumnya menempel dengan negatifnya.
Kelemahan pada sistem polaroid ini adalah tidak terdapat negatif untuk
dicetak ulang atau dibesarkan fotonya, karena ‘negatif’ yang terbentuk
tidak transparan, juga rapuh, karena memang tidak diciptakan untuk
dipergunakan sebagai film negatif biasa.
Kamera Jepang Fotografi tumbuh di Eropa, berkembang di Amerika, berbuah
di Asia. Kalau kita perhatikan, memang perkembangan geografis dunia
fotografi cukup unik, walaupun perkembangan industri dan teknologi
lainnya juga hampir sama dengan itu. Tetapi khususnya mengenai fotograf,
setelah Perang Dunia ke-2, hanya dalam waktu sepuluh tahun lebih,
industri fotografi Jepang sudah mulai mengalahkan Eropa, sehingga
produk-produk fotografi, khususnya Jerman yang selama itu sudah amat
terkenal, misalnya Leica, Contax, Rolleiflex, Vogtlander, Bauer, Eumig,
dll, juga produk-produk Eropa lainnya secara berangsur-angsur namun
pasti mulai tersaingi oleh nama-nama baru dari Jepang, antara lain
Minolta, Konica, Canon, Nikon, Fuji, Pentax, Olympus, Yashica, Fujica,
dll. Maka kemudian beberapa industri fotografi melakukan merger,
misalnya Agfa dari Jerman dengan Gevaert dari Belgia, Ilford dari
Inggris dengan Ciba dari Jerman, Zeiss-Ikon dengan Voigtlander, dll.
Pada sekitar peralihan dekade tujuhpuluhan ke delapanpuluh, terjadi
penggabungan usaha antara Jerman dan Jepang : Leitz dengan Minolta,
Zeiss/Contax dengan Yashica. Sejak awal delapanpuluhan, industri
fotografi Asia mulai tumbuh juga di luar Jepang, umumnya semua berkat
bantuan langsung maupun tak langsung dari Jepang juga. Paling dulu
India, lalu Korea, Taiwan, Hong Kong, Singapura, Indonesia, Malaysia,
Cina. Di negara-negara tersebut, yang dipacu erutama adalah industri
kamera.
Berdasarkan tipenya, film terbagi menjadi dua tipe, yaitu:
Tipe film yang pertama adalah film Daylight atau film cerah hari, yang digunakan untuk memotret obyek-obyek yang sumber pencahayaannya berasal dari cahaya alam atau matahari, atau cahaya buatan yang kualitas cahayanya sebesar 5.500 derajat Kalvin.
Tipe film yang kedua adalah film Tungsten atau yang biasa digunakan untuk memotret obyek-obyek yang sumber pencahayaannya berasal dari cahaya buatan seperti lampu pijar atau lampu neon.Disebut sebagai film Daylight karena film ini mempunyai emulsi yang mempunyai derajat minimum kepekaan sinar atau cahaya sebesar 5.500 derajat Kalvin, sedangkan disebut sebagai film Tungsten karena film ini mempunyai derajat kepekaan sinar atau cahaya dibawah 3.200 derajat Kalvin.
Sedang berdasarkan jenisnya, film dibagi menjadi lima macam, yaitu:
Film negatif hitam-putih
Film negatif warna
Film positif warna (reversal / color slide)
Film x-ray
Film instan
Berdasarkan tingkat kepekaannya terhadap cahaya, film terbagi dalam empat macam, yaitu:
Film dengan tingkat kepekaan lamban
Film dengan tingkat kepekaan sedang
Film dengan tingkat kepekaan tinggi
Film dengan tingkat kepekaan sangat tinggi
Sedangkan kepekaan suatu film, ditandai dengan besar kecilnya angka ASA / ISO yang antara lain sebagai berikut:
ASA 25 – 64 untuk film dengan tingkat kepekaan rendah
ASA 100 – 200 untuk film dengan tingkat kepekaan sedang
ASA 400 – 800 untuk film dengan tingkat kepekaan tinggi
ASA 1600 – ~ untuk film dengan tingkat kepekaan sangat tinggi
Di Indonesia, film yang popular dan paling banyak digunakan oleh masyarakat pada saat ini adalah film yang ber ASA 200 (untuk film negatif warna).
Karakter Film
Tipe film yang pertama adalah film Daylight atau film cerah hari, yang digunakan untuk memotret obyek-obyek yang sumber pencahayaannya berasal dari cahaya alam atau matahari, atau cahaya buatan yang kualitas cahayanya sebesar 5.500 derajat Kalvin.
Tipe film yang kedua adalah film Tungsten atau yang biasa digunakan untuk memotret obyek-obyek yang sumber pencahayaannya berasal dari cahaya buatan seperti lampu pijar atau lampu neon.Disebut sebagai film Daylight karena film ini mempunyai emulsi yang mempunyai derajat minimum kepekaan sinar atau cahaya sebesar 5.500 derajat Kalvin, sedangkan disebut sebagai film Tungsten karena film ini mempunyai derajat kepekaan sinar atau cahaya dibawah 3.200 derajat Kalvin.
Sedang berdasarkan jenisnya, film dibagi menjadi lima macam, yaitu:
Film negatif hitam-putih
Film negatif warna
Film positif warna (reversal / color slide)
Film x-ray
Film instan
Berdasarkan tingkat kepekaannya terhadap cahaya, film terbagi dalam empat macam, yaitu:
Film dengan tingkat kepekaan lamban
Film dengan tingkat kepekaan sedang
Film dengan tingkat kepekaan tinggi
Film dengan tingkat kepekaan sangat tinggi
Sedangkan kepekaan suatu film, ditandai dengan besar kecilnya angka ASA / ISO yang antara lain sebagai berikut:
ASA 25 – 64 untuk film dengan tingkat kepekaan rendah
ASA 100 – 200 untuk film dengan tingkat kepekaan sedang
ASA 400 – 800 untuk film dengan tingkat kepekaan tinggi
ASA 1600 – ~ untuk film dengan tingkat kepekaan sangat tinggi
Di Indonesia, film yang popular dan paling banyak digunakan oleh masyarakat pada saat ini adalah film yang ber ASA 200 (untuk film negatif warna).
Karakter Film
Dulu, sebelum tahun 1990, ada hukum yang berlaku di fotografi yaitu,
semakin rendah tingkat ASA sebuah film, maka film tersebut pasti
mempunyai butiran halida (grain) yang halus. Sedangkan tingkat ASA
sebuah film yang tinggi mempunyai butiran halida yang kasar. Namun sejak
tahun 1997 yang lalu, besarnya angka ASA film (misalnya ASA 200 hingga
ASA 800) tidak lagi dapat diartikan bahwa film tersebut butiran
halidanya kasar, sebab teknologi fotografi yang berkembang saat ini
seperti misalnya teknologi yang ditemukan Fujifilm (Sygma Crystal dan
DIR Coupler) sangat memungkinkan untuk memproduksi film yang ber ASA
tinggi namun punya grain yang sangat halus.
Sumber: jedaphotography.wordpress.com/2008/11/18/sejarah-fotografi/
Sumber: jedaphotography.wordpress.com/2008/11/18/sejarah-fotografi/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar